Thursday, December 30, 2010

Puncak Mahameru, 3676 mdpl

Foto: Dwi Qaqa
Text: Hanif                                      






Puncak 3676 mdpl


Pagi hari adalah saat yang kami tunggu- tunggu, bagaimana tidak, suasana kabut turun berpacu dengan instesitas kecil cahaya matahari berlomba menuju air danau merefleksikan keindahan alam dibalut pencahayaan sempurna yang tidak ada fotografer mampu menghasilkan lightning semacam itu, Subhanallah  sangat menawan. Agak siangan kami memenuhi hajat perut lagi dengan mi instant dan Kopi Singa yang membuat kami sangat fresh dan bersemangat menaklukkan tanjakan Cinta, trek menanjak pertama pendakian menuju Kalimati.

Pukul 9 kami memulai perjalanan ke kalimati tapi sayangnya seorang dari kami tidak bisa melanjutkan pendakian. Selama pendakian kami memperoleh banyak sekali pelajaran secara tidak langsung seperti saat mendaki menuju Ranukumbolo,karena trek yang sempit dan saat grup kami berpapasan dengan grup yang mau turun, maka selalu kami yang di dahulukan lewat mungkin itu aturan tidak tertulis di antara pendaki, mendahulukan yang naik. Itu pula yang kami lakukan nantinya ketika turun, kami mencoba mendahulukan yang naik.

Perjalanan menuju Kalimati tidak seberat yang pertama, banyak trek pendakian yang agak landau. Sepanjang perjalanan kami disuguhi berbagai macam relief pemandangan yang luar biasa indah sampai- sampai menggetarkan jiwa raga dan akal sehat. Buh. Kami disuguhi pemandangan Oro- oro Ombo semacam padang rumput dengan tumbuhan setinggi satu setengah meter dengan bunga berwarna ungu, saya tebak itu tanaman lavender yang ampuh mencegah serangan nyamuk, tapi tidak ada yang membetulkan atau menyalahkan tebakan saya, dan padang ini juga yang menjadi saksi hidup narsisty-act grup kami. Setelah itu kami beristirahat sejenak di Pos Jambangan bersama grup lain.

Oro- oro Ombo

Setibanya di titik akhir pos Jambangan kami kembali disuguhi trek menanjak yang melelahkan, di balik bukit inilah tujuan kami Kalimati. Menurut informasi yang saya dapat Kalimati merupakan aliran lahar saat terjadi letusan, saat tidak teraliri lahar trek itu tampak seperti sungai mati atau dalam bahasa jawa disebut Kalimati.
Rehat di Pos Jambangan

Dengan bobot carrier yang sama berat seperti pendakian awal, ditambah lagi wajib membawa persediaan air yang banyak karena tidak ada lagi sumber air terdekat selain di Ranukumbolo perjalanan semakin memiliki taste. Sekitar pukul tiga sore, kami telah keluar dari hutan, dan lagi- lagi disuguhi padang rerumputan, Kalimati. Gugusan bunga berwarna kekuningan berderet di hadapan kami. Begitu grup kami ada yang berseloroh, “Edelweiss nih” saya baru tersadar, di sinilah bunga abadi itu hidup, Luar Biasa.

Aku mencoba mengagumi bunga itu secara mikro, lebih detil untuk mengetahui letak keindahannya dan ternyata luar biasa! tidak ada yang istimewa dan bunganya biasa- biasa saja. Laah. Entah kenapa banyak yang menginginkannya untuk dibawa pulang, selain memang dilarang dipetik, aku nggak   menemukan letak keindahannya secara individu. Setelah berjalan melewati gugusan bunga abadi dan sampai di ujung kalimati aku baru bisa menemukan satu hal yang memang luar biasa dari tempatku berdiri, gugusan edelweiss ternyata tampak indah jika dilihat secara landscape, menyuguhkan deretan gradasi warna kekuningan yang menyejukkan.

Terkapar di Pos Kalimati


Dari pos Kalimati, kami berencana langsung melanjutkan perjalanan ke Arcopodo, titik terdekat dengan puncak dan terdapat spot yang pas untuk mendirikan tenda. Setelah diserang hujan lebat, sekitar pukul 5 kami mulai perjalanan ke Arcopodo. Trek yang berat dan ditambah dengan sisa hujan lebat plus kebagian jatah membawa tenda membuat sore itu menjadi completely hard. Alhamdulillah kami bisa sampai ke Arcopodo setelah menempuh sekitar dua setengah jam pendakian dan langsung cari spot untuk mendirikan tenda. Malam itu demi kondisi fit ketika naik ke puncak tengah malam nanti, kami benar- benar makan besar dan sehat dengan menu nasi putih dan ikan sarden ditutup dengan Energen Jahe belum lagi masih dapet giliran dipijat dan tidur pulas. Maknyuss.

Suasana tenda bermalam di Arcopodo

Pukul satu tepat, kami  dibangunkan pendaki lain untuk persiapan mendaki dan setengah jam kemudian kami sudah siap memulai pendakian utama menuju puncak Mahameru. Setelah melalui sedikit trek tanah dan hutan kami disuguhi trek lurus tinggi dan menanjak. Trek utama ini bukan berupa tanah basah tapi campuran pasir dan batu yang rata- rata sebesar bola kaki. Berhati- hati kami mendaki trek terakhir ini, bagaimana tidak baru beberapa saat mendaki, rombongan di atas berteriak, “Batu! Batu!”, saat itu rasanya berada di titik nol gravitasi mengetahui ada batu sebesar kepala sapi menggelinding ke arah kami. Untungnya batu-kepala-sapi segera menggelinding ke luar trek utama dan jatuh di jurang 5 meter di samping kami.Fuhh.

Cukup berat jalur terakhir ini karena kemiringan dan komposisi trek yang membuat kaki sering ambles ke dalam pasir, Alhamdulillah, tepat pukul 6 pagi kami sampai di puncak Mahameru, deretan pegunungan di sekitarnya Nampak jelas. Gunung Putri Tidur nampak utuh, Arjuno, Bromo dan yang paling tinggi adalah tempat kami berpijak, titik 3676 meter di atas permukaan laut. Meskipun tidak bisa melihat sunrise karena tertutup awan kami tetap bersyukur bisa sampai puncak. Rasanya kami ingin kembali ke sana sekali lagi meskipun saat itu baru lima menit kami berada di puncak dan bahkan belum juga turun!! 



Memoriam Soe Hok Gie di Puncak Semeru



Trek menuju puncak yang berat


Perpulangan


Thanks to All my teammate for their support and
 thanks to nyobi_reader who kept themselves updated to this blog