Sunday, March 14, 2010

Mahluk paling keras kepala

Foto: Google Image
Teks: Hanif
____________________


Dalam perenungan harian, entah kenapa akhir- akhir ini yang sering kupikirkan adalah pertanyaan mahluk apa yang paling keras kepala. Aku sudah telusuri satu- satu cipataanNYA yang lalu lalang di hadapanku secara kasat mata, manusia. Manusia itu mahluk hidup yang termasuk rewel diantara cipatanNYA yang lain, selain karena mereka diberi akal untuk berpikir, manusia juga dianugerahi nafsu. Kalau berbicara nafsu maka akan banyak sekali macamnya, tapi yang aku anggap paling dominan adalah nafsu tidak pernah puas untuk memiliki dan mengumpulkan sesuatu yang diinginkan, alamiah. Dengan kriteria itu maka nominasi pertama tentang mahluk paling keras kepala adalah manusia. 

Setelah itu pikiranku kembali menerawang, siapakah saingan manusia sebagai mahluk paling keras kepala, setelah ku pikir- pikir maka yang muncul di benakku adalah binatang. Mulai dari binatang bersel satu, binatang carnivora, binatang berdarah panas, binatang berkaki empat sampai binatang tidak berkaki dan juga hemaprodit muncul dalam daftar di otakku, menemani lamunan. Tapi ada asumsi lain yang menggugurkan perkiraanku tentang binatang sebagai mahluk keras kepala, yaitu binatang tidak memiliki nafsu untuk mengumpulkan keperluannya secara berlebihan. Binatang dengan bangsa, kelas dan spesies apapun sudah diseting untuk mencari dan mengumpulkan sesuatu sesuai kebutuhan, coba ingat- ingat apa pernah ada singa yang mengumpulkan puluhan ekor rusa demi memenuhi kebutuhan makannya untuk sebulan ke depan? Haha, aku rasa gak ada dan gak akan pernah ada. Berarti binatang tidak bisa aku sebut sebagai mahluk keras kepala.

Terus saja pikiranku sebagai manusia, nominasi mahluk keras kepala, ingin terus mencari daftar mahluk paling keras kepala. Untuk kesekian kalinya kupikir, muncullah benda keras alias batu sebagai salah satu mahluk paling keras kepala, mengingat, untuk sesorang yang keras kepala, kita punya istilah ‘Dasar kepala batu!’ atau ‘Ndase atos koyo watu!’ atau yang lain lagi, masih banyak karena kita punya ribuan bahasa daerah. Tapi yang jelas batu telah diasosiasikan sebagai sosok keras kepala. Tapi apa benar batu itu mahluk yang keras kepala? Kalau itu pertanyaanya maka jawabannya adalah tidak. Oh mengapa, karena batu pun jika ia ditempa secara berulang- ulang atau jika ia terkena tetesan air hujan selama bertahun- tahun maka ia pun berubah bentuk atau ia akan membentuk lekukan jika terkena tetesan air hujan selama bertahun- tahun. Jadi lebih tepatnya jika batu diasosiasikan dengan mahluk paling istiqomah atau tekun dalam menempuh tujuan. Dengan alasan itu sudah cukup untuk menyingkirkan mahluk bernama batu dari daftarku tentang mahluk paling keras kepala. Capek juga ternyata mencari daftar mahluk persisten alias keras kepala ini, sampai aku berpikir kalau ‘capek’ sendiri adalah mahluk paling keras kepala. Tapi segera ‘capek’ tereliminasi dari daftarku mengingat kita punya istilah ‘sudah tidak capek lagi’ yang berarti capek itu bisa hilang dan itu bukanlah persisten atau keras kepala, ‘Endas atos’.

Semakin lama aku berpikir waktuku semakin berkurang. Meskipun hanya hitungan menit, waktuku meguap begitu saja. Semakin aku beradu ‘jotos’ dengan waktu semakin terasa ‘beliau’ bertambah meskipun konstan perlahan tapi pasti. Sekali lagi entah untuk apa tujuan aku membuat daftar ini, aku cari lagi mahluk- mahluk dengan persistensi paling tinggi. Semenit, dua menit, semenit dua……………..tidak dapat. Semakin banyak waktuku yang habis hanya untuk menyusun dan mendaftar mahluk yang gak jelas ini sampai secercah harapan akhirnya datang. Sedari tadi aku menulis, sesuatu terus saja membuntutiku. Waktu aku berhenti, ia tetap jalan, perlahan. Kelihatan sekali kalau ia menjengkelkan, dan keras kepala, dan satu lagi, ia tidak terhentikan. Tidak peduli gimana kondisiku, lagi happy, lagi emosi, lagi gak ngapa- ngapain, atau lagi menanti, dia tetap berjalan.

 Luar biasa persisten mahluk ini. Apakah nama mahluk itu? Ya kamu benar sob, mahluk ini biasa kita sebut dengan waktu, time atau wѐktu (dalam boso jowo medok dan kental). Waktu tidak mempunyai titik henti dalam perjalanannya, sekalipun dalam alam akhirat waktu akan terus berdetak mengiringi setiap aktifitas yang terjadi. Ya akhirnya pencarianku terjawab dan ‘waktu’ aku tempatkan di urutan teratas dan satu- satunya dalam daftar mahluk paling keras kepala yang aku punya, jauh mengungguli manusia dalam adu keras- kerasan kepala atau ‘atos- atosan Endas’. Selain keras kepala waktu juga sangat berbahaya, ada pepatah arab ‘ Waktu ibarat pedang, kalau kalian tidak memotongnya, maka kalianlah yang terpotong’ tentu maksudnya kita harus strategis dalam mengatur waktu, berhubung dialah musuh kita yang paling persisten.





Wednesday, March 3, 2010

Kuliner dadakan

Foto &  Text by Hanif
_______________________


Selamat datang di myblog, tempat tongkrongan ( yang ini tongkrongan online). Ini postingan ke sekian di blog ini, hitung- hitung buat nambah pengalaman nulis. Awalnya gak ada niat mau nulis tentang sesuatu yang khusus, soalnya lagi kurang mood nulis, ujian sudah dekat.



Postingan ini tentang kuliner. Alasan kenapa kuliner sebagai postingan kali ini, adalah karena makan itu enak(??). Sebenarnya gak ada alasan, cuma kebetulan hari sabtu 16 januari kemarin aku lagi mampir ke daerah Pudu, ada assignment yang menuntut membeli pernak- pernik setrum alias elektro di pasar Pudu. Nah, cerita berawal setelah dari Pudu.



Pernak- pernik yang aku cari sudah dapat semua dan sekarang tinggal cabut, langsung saja aku cegat lrt train di stesen Pudu. Di atas tren seingatku masih jam 6 sore dan aku pikir kalau langsung pulang, hari itu akan habis begitu saja aku jadi berpikir untuk pindah haluan. Oh ya, aku pernah denger di Sungai Besi ada pasar Indonesia setiap sabtu malam dan jual barang khas Indonesia, langsung saja detik itu juga aku putuskan ganti haluan ke sungai Besi. Dengan kelajuan 50 knot, Sekitar pukul 6.20 aku


sampai di Sungai Besi, hujannya luar biasa deres waktu itu. Tapi Itu semua gak bisa menggembosi semangatku untuk menuju pasar malam, demi satu hal. Makan.

Dari stesen aku langsung menuju crossing bridge alias jembatan penyebrangan. Jalanan di bawahku ramai banget, keliatannya orang- orang mau pulang kampong weekend ini (bagi yang kampungnya gak jauh- jauh amat). Dari atas bridge itu juga sudak tampak deretan tenda- tenda pasar malam, dan wuuush.. hawa Indonesia lewat depanku rasanya. Mau langsung nyelonong tapi masih hujan deres, kalau mau nekad bisa aja tapi sampai sana pasti ‘mablul jami’an’ alias basah kuyup. Tapi, berhubung ini berkenaan masalah perut, ‘mablul jami’an’ sudah tidak terpikirkan, aku pikir setelah turun jembatan kan masih bisa merepet (berjalan pelan dan mepet) ke kedai yang ada di bawah. Yup, usaha merepet berjalan mulus, gak jauh dari situ sudah keliatan deretan tenda orange ( kenapa bukan tenda biru ya?) dan aroma makanan yang semerbak berebutan masuk lubang hidung untuk menggoda saraf sensorik, yang kemudian direspon oleh saraf motorik yang menggerakkanku ke arah bau yang terdeteksi. Ternyata itu bau sate ayam. Entah kenapa bau sate ayam dulu yang tedeteksi, mungkin karena jarang makan sate, atau mungkin karena demam sate, gak tau lah yang pasti karena asap sate yang sangat brutal dan extreme itu bukan saja mengganggu indra penciumanku, tapi juga indra penglihatanku, asapnya ngebul gak terkontrol. Ooh pantesan.

Setelah diganggu bau sate atau lebih tepatnya asap sate, aku tersadar kembali, perjalanan masih panjang, tenda orange itu masih terlihat sepanjang 300 meter, kalau di meter pertama aku sudah tergoda aktivitas makan, gimana nanti di meter ke 300, mungkin sudah gak bisa berdiri kekenyangan kali ya?. Oke confirmed, carry on the tour. Sepanjang perjalanan kejadian di awal cerita sering terulang, aroma makanan yang menggelitik saraf, untungnya masih bisa tertahankan. Ada satu aroma yang terdeteksi mengingatkanku ke kampung halaman, aroma putu bambu. Kalian pasti tahu itu, makanan dari adonan kelapa dicampur gula merah dan dikukus dalam silinder bamboo beradius 1cm yang imut dan pas sekali dimakan waktu sore apalagi ditemani secangkir teh panas. Sempurna.

Tapi rencanaku mau makan di rumah, jadi gak mungkin kalau beli putu bambu, nyampe rumah pasti dingin dan gak nikmat lagi. Terus saja aku telusuri meter demi meter deretan tenda orange, banyak hal- hal menarik yang sebenernya pingin aku beli, tapi berhubung prinsip mendahulukan yang diperlukan bukan yang diinginkan jadinya hasrat untuk membeli itu lenyap begitu saja. Makanan khas Malaysia dari ujung Kedah sampai ujung Johor Bahru semua ada, yang paling aku tau tentunya Laksa khas Kelantan. Aku pernah ikut gotong royong masak di surau deket tempat kosku dan kebetulan aku bagian buat Laksa meskipun hasilnya saat itu lumayan. Lumayan runyam.

Selain makanan, ternyata pasar malam itu juga menyediakan deretan panjang tenda yang menjual pakaian, ada pakaian resmi dan juga pakaian olah raga. Lumayan untuk harganya, celana training bertuliskan Nike, adidas dkk dijual seharga RM15.
Fiuh....capek juga ternyata jalan terus, setelah deretan pakaian itu aku putuskan untuk balik ke tenda makanan. Kedai pertama yang jadi korbanku ternyata jualan Kue. Lumayan harganya 1RM dapet tiga biji, akhirnya aku beli aja agak banyak buat dibawa ke Endah villa. Lanjut lagi, setelah itu aku hampiri kedai yang jual mangkuk terbalik. Entah jual apa itu, deretan mangkuk terbalik dipanaskan di atas kompor, aku baru faham setelah lirik tulisannya, Putu Perak. Namanya wisata kuliner aku harus coba minimal satu, tapi berhubung gak mungkin cuman beli satu, akhirnya aku beli beberapa biji. Lanjut lagi, tengok kanan- kiri di deretan tenda selanjutnya ada daftar menu, nasi goreng udang 2rm, kwetiau kerang 2 rm diracik oleh D’Maju Zamzally. Untuk ukuran Kuala lumpur, harga itu gak mahal- mahal amat, jadi aku langsung aja eksekusi nasi goreng udang, dibungkus.

Gak terasa hari sudah hampir gelap, maghrib masih 15 menit lagi. Berhubung kerongkongan sudah kering, aku mampir ke sebuah kedai dan order minum seperti biasa, “teh tarik, makcik!”. Sambil nunggu teh pesenan, aku buka bungkusan nasgor tadi, porsi lumayan besar dengan harga 2 rm, sangat dianjurkan untuk temen- temen. Tehku datang, sejurus mau aku santap nasgornya tapi kok rasanya kurang enak kalau makan sendirian. Kaya orang ilang. Tengok kanan kiri lagi, ada bapak- bapak, juga lagi sendirian, aku samperin aja buat temen ngobrol. Sambil makan, aku tanyakan apa memang rutin bapak ini ke pasar malem sini, dan beliau cerita kalau hampir setiap minggu dateng ke pasar ini. Yang dicari cuman satu makanan, namanya nasi Dagang khas Terengganu. Aku jadi penasaran sama hal yang bisa buat orang dateng tiap minggu untuk sekedar beli nasi bernama Dagang. 

Tapi apa dikata, hari sudah gelap dan adzan maghrib berkumandang, aku akhiri obrolan dengan pakcik tadi, perjumpaan yang aneh. Gimana gak aneh perjumapaan diakhiri dengan saling berkenalan, biasanya diawal. “Nama saya Husain”, kata pakcik. “sampai jumpa lagi pakcik!”, kalimat terkahirku. Setelah itu aku ke mesjid di sekitar pasar itu, shalat maghrib dan go home.


Putu Perak






Laksa





Spending:
- Kue 12 biji : RM 4
- NASGOR udang : RM 2
- Teh tarik : Gratis (dibayarin pakcik)
Untuk dicoba : Nasi Dagang